Setelah peristiwa penutupan Hotel Alexis di Jakarta yang menghebohkan, tak heran jika kini masyarakat menyorot pekerjaan terapis pijat dan spa. Ini dikarenakan hotel yang dikabarkan menyetor pajak kepada pemprov DKI sebesar Rp 30 miliar per tahun tersebut juga menyediakan terapis pijat dan spa di lantai tujuh. Ditengarai, tempat pijat dan spa ini dijadikan tempat tindak asusila.
Dikutip dari reportase Tribunnews.com, Rabu (22/11/2017), Pemprov DKI menyebut alasan izin Alexis tidak diperpanjang adalah demi untuk mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar norma sosial dan hukum di lingkungan tempat usaha.
Namun faktanya, layanan terapis pijat seksual tidak hanya ditawarkan di tempat-tempat mewah. Di Palembang sendiri, hotel-hotel ternama juga menyediakan terapis pijat.
Yang menjadi pertanyaan, serupa dengan ‘mengapa beberapa orang mau menjadi prostitusi’, banyak pihak kerap bertanya-tanya, mengapa wanita mau jadi terapis? Berapa jumlah uang yang mereka terima? Dan masih banyak lagi.
Ditemui di sebuah tempat pijat di kawasan Jalan seputaran Jaksa Agung R Suprapto Palembang, Minggu (5/11/2017), seorang narasumber akan membeberkan beberapa fakta guna menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.
Tempat pijat tersebut menyewa sebuah ruko tiga lantai. Lantai pertama ada meja resepsionis dan bilik tempat pijat, lantai dua juga demikian.
Pemilik tengah menata bilik pijat dengan menempatkan satu ranjang yang ditutupi dengan tirai kain. Pelanggan yang memijat akan diarahkan ke bilik-bilik ini.
Sebelum masuk bilik, pelanggan akan diperlihatkan foto-foto wajah para terapis pijat. Fotonya seukuran post card. Pada foto, para terapis menggunakan seragam warna putih.
Terapis yang sedang bertugas fotonya akan ditutupi dengan sebuah benda, bisa berupa kartu atau semacamnya.
Pelanggan bebas memilih terapis pijat. Resepsionis hanya akan mengarahkan mana saja terapis yang pijatannya enak.
Untuk satu jamnya, pelanggan akan dikenai biaya Rp 60 ribu. Ada sebuah papan berukuran 30 cm yang terpajang di dinding berisi peraturan pijat. Poin mengenai larangan berbuat asusila juga tercantum di situ.
Tim media dari TribunSumsel kemudian mewawancarai salah satu terapis bernama Ut (bukan nama sebenarnya).
“Sebenarnya Ini Demi Anak Saya…”
Ut mengaku berasal dari sebuah desa yang berada di wilayah perbatasan Semarang, Jawa Tengah. Sudah tiga tahun Ut menjadi terapis pijat. Ia mengaku diajak pemilik panti pijat yang kebetulan sama-sama orang Jawa Tengah. Selain itu, dia juga mengaku menjadi terapis pijat bukanlah pilihan terakhirnya. Jika ada pekerjaan lain yang lebih baik, dia akan berhenti kerja.
Di dalam bilik, pelanggan akan dipijat oleh si terapis sesuai durasi 1 jam. Hanya saja, saat ini Ut harus menafkahi anaknya seorang diri. Suami Ut menceraikannya 5 tahun lalu.
“Sebenarnya ini demi anak saya,” paparnya bercerita.
Di tempat ini, rata-rata terapis pijatnya berasal dari Pulau Jawa. Semua terdengar jelas dari logat bahasanya yang kental saat saling mengobrol dengan sesama terapis pijat.
Ut melanjutkan, dalam sehari dirinya bekerja dari pukul 10.00 hingga 21.00 WIB. Jika fullmenerima pelanggan, bisa sampai 6 orang per hari.
“Di atas jam 9 malam sudah tidak mau lagi. Capek mau istirahat,” imbuhnya.
Gajinya menjadi terapis pijat hanya Rp 12 ribu per pelanggan. Gaji tersebut dibayar per sepuluh hari. Rata-rata Ut perhari hanya melayani pijat hingga 5 pelanggan. Artinya, upahnya dalam sehari hanya berkisar Rp 60 ribu.
Sebulan, Ut menerima uang sekitar Rp 1,8 juta. Angka ini tentu sangat kecil untuk seorang perantau dari Pulau Jawa.
Oleh sebab itulah seorang terapis pijat kemudian nekat menyanggupi permintaan pelanggan untuk melakukan perbuatan asusila. Demikian pula Ut. Saat memijat, terapis pijat tidak menawarkan secara blak-blakan.
Ia hanya akan bertanya “Sering pijat di sini, Mas?”
Entah apa maksudnya hanya sekadar bertanya atau memastikan apakah pelanggan sudah tahu sistem pijat di sana. Saat pelanggan bertanya soal pelayanan seksual, barulah terapis pijat ini akan melakukan tawar-menawar.
Selama durasi pijat satu jam itu belum habis, terapis pijat bersedia untuk menerima tawaran pelayanan seksual. Pelayanan seksual di tempat pijat seperti ini biasanya tidak sampai pada berhubungan badan. Selain tempat yang tidak memungkinkan, terapis juga mengaku dilarang oleh pemilik panti pijat. Ia hanya mau melayani (maaf) oral s*eks saja.
“Jika sampai berhubungan badan, ada yang mau ada yang tidak. Tapi di luar (hotel) tidak di sini,” ungkapnya.
Sekali memberikan pelayanan oral s*eks, Ut mendapat imbalan paling sedikit Rp 100 ribu. Dan hampir semua pelanggannya meminta pelayanan seperti itu.
“Jika cuma pijat paling dikasih tip Rp 20 ribu,” terang Ut.
Dihitung dengan pelayanan s**s, barulah rata-rata Ut mendapatkan uang hingga Rp 600 ribu per hari. Dengan demikian, penghasilan Ut dalam satu bulan dari pelayanan s*eks mencapai Rp 18 juta. Ini tentu besaran yang berkali-kali lipat bila dibandingkan dengan gaji yang diterimanya sebagai terapis pijat (Rp 1,8 juta).
Perawakan Ut sendiri cukup menarik. Di usianya yang 29 tahun, Ut berkulit putih dan memiliki potongan rambut yang sesuai dengan bentuk wajahnya.
SUMBER : SURATKABAR.ID